Senin, 31 Desember 2012

Catatan Akhir Tahun

Tak terasa satu tahun kembali berlalu. Malam tahun baru ini hujan turun nyeukcreuk. Semoga saja mereka yang sedang menyongsong pergantian tahun tidak terlalu disusahkan oleh hujan ini.

Satu tahun ini Bandung semakin semrawut. Menjelang akhir tahun kekacauan semakin menjadi-jadi. Kemacetan bertambah dengan banyaknya libur nasional dan cuti bersama. Banjir di mana-mana bahkan hingga mencapai ketinggian di atas dua meter. Di lain pihak, pemerintah kota sibuk dengan proyek-proyek luar biasa.

Gorong-gorong di ruas jalan tertentu diperbaiki, tapi tidak dibersihkan dengan benar. Trotoar-trotoar yang sifatnya tidak darurat kemudian diperbagus, tapi saluran drinase tidak dibenahi. Pagar jembatan yang tidak rusak dibongkar dan diganti. Pun dengan trotoar jembatan yang juga tidak rusak-rusak amat ikut diganti. Sementara jalan masih juga ada yang bolong.

Beberapa proyek pembangunan tiba-tiba muncul selepas lebaran. Kantor Kadin dibangun di perempatan jalan Jakarta-Cianjur. Sebuah tempat yang sangat tidak representatif dan jelas akan menimbulkan semakin banyak kemacetan dengan keluar-masuknya mobil-mobil para pengusaha dan pejabat nantinya.

Tidak jauh dari lokasi tersebut, tampak dibangun juga kantor DPRD kota. Apakah kantor DPRD yang sekarang memang sudah tidak mampu memuat para anggotanya? Sebetulnya seberapa banyak anggota DPRD kota? Sementara di koran saya membaca bahwa ruang kerja anggota DPRD (saya lupa DPRD kota atau provinsi) sehari-hari hanya diisi satu atau dua orang saja? Betulkah itu? Jika benar demikian, lalu apa perlunya membangun gedung baru?

Pembangunan di mana-mana sementara bangunan terlantar dibiarkan. Contohnya rangka gedung di samping lahan kantor DPRD kota. Contoh lain adalah rangka gedung Panasia yang masih juga membangkai setelah lewat sepuluh tahun. Bangunan tua yang bernilai malah dihancurkan dan diganti dengan hotel atau apartemen puluhan lantai yang lokasi-lokasinya hanya akan menimbulkan akibat lebih buruk bagi warga kota, seperti kemacetan, terkurasnya air tanah, semakin mahalnya biaya hidup dan semakin tingginya kesenjangan sosial.

Proyek akhir tahun yang tampak sedikit konyol dan memaksakan adalah pembangunan halte trans metro Bandung di mana-mana. Halte dibuat di atas trotoar sempit. Sering tangga menuju halte tertutup pedagang kaki lima seperti kasus di depan pasar Kosambi dan Cicadas. Pertanyaannya adalah: apakah bus-bus dan jalurnya sudah siap? Apakah sistemnya sudah mantap sampai begitu terburu-burunya halte bus TMB dibangun di seluruh Bandung? 

Proyek lainnya adalah renovasi stadion Persib. Apakah stadion tersebut rusak parah sehingga harus direnovasi sedemikian rupa? Akan diapakan stadion tersebut? Apakah untuk merealisasikan sebuah Gor Futsal iklannya yang terpampang di spanduk besar di halamannya itu? Kenapa tidak dibuat dari dulu ketika spanduk tersebut mulai dipasang? Kenapa harus menunggu sekian lama?

Bangunan-bangunan kolonial semakin menghilang dari peradaban Bandung. Braga semakin lumpuh. Hotel-hotel tinggi bermunculan di mana-mana hingga Perhimpunan Hotel Bandung pun meminta pemkot memoratorium pembangunan hotel (baca koran lokal di sekitar bulan September-Oktober).

Tak hanya hotel yang berdiri tinggi. Apartemen-apartemen berlomba di mana-mana. Malah ada yang berani membangun hingga 22 lantai. Ketika saya masuk ke sana, saya tidak puas demi melihat kualitas konstruksi gedung dan luasannya dibandingkan dengan harga yang ditawarkan. Entah orang macam apa yang mau membeli benda seperti itu. Bisa jadi orang kaya korban mode.

Bandung semakin panas di siang hari dan menjadi sangat dingin di malam hari. Tanggal 21 Desember hujan angin besar disertai petir menggelegar membuat panik orang di mana-mana. Mungkin itu pertanda bahwa manusia harus sadar diri. Kita bukanlah apa-apa jika sudah berhadapan dengan kemarahan alam. Jangan sampai alam marah pada kita, apalagi sampai Tuhan yang marah. Ingatlah pepeling leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak. Itu sudah sangat tampak di Bandung. Leuweung geus (ampir) ruksak, cai geus (ampir) beak (baca: hese cai). Mau sampai kapan kita tidak peduli? 

Penulis hanya berharap, semoga di tahun 2013 kekacauan ini bisa diperbaiki melalui kerjasama warga, swasta dan pemerintah. Penulis berharap agar pemkot lebih pro-warga dan berhenti untuk sesaat mendukung pengusaha rakus yang kebanyakan orang luar Bandung. Berilah warga kesempatan untuk bernapas. Berilah kami, warga kota asli, kesempatan untuk mendapatkan dan menikmati hak-hak kami karena kami pun wajib memenuhi kewajiban sebagai warga kota dengan membayar pajak dan mematuhi berbagai peraturan yang berlaku.

Selamat menyongsong tahun baru 2013.

Selasa, 25 Desember 2012

Dalang

Waktu itu hari Sabtu malam. Saya sendirian menunggu suami pulang sambil mengerjakan pekerjaan ekstra, proyekan dari luar kantor. Hujan turun cukup deras. Di rumah sunyi sepi. Televisi saya nyalakan. Remote TV pun bekerja. Bolak-balik saya pijit tombol angka pada permukaannya, tak juga ditemukan saluran yang menayangkan acara berbobot. Tujuh puluh persen stasiun TV menayangkan sinetron yang saya tidak pernah suka. Akhirnya saluran kembali berpindah. Kali ini ke stasiun TV lokal Bandung. Acaranya pagelaran pertunjukkan wayang golek. Sepertinya acara sudah berlangsung cukup lama.

Saya bertahan di pagelaran wayang golek. Saya ingin tahu lakon yang dibawakan dan siapa dalangnya. Ternyata lakonnya adalah pencarian satria piningit yang melegenda. Sang dalang adalah juga dalang legendaris wayang golek, Asep Sunandar Sunarya. Beberapa kali kamera mengarah ke arah penonton. Rupanya di situ ada Gubernur Jawa Barat. Pagelaran sendiri diadakan di Sumedang. 

Kisah pun terus berlanjut. Alkisah, Semar bersama seorang patih pergi bersemedi. Semar mengatakan bahwa ia dan sang patih akan turun ke negeri lain untuk mencari satria piningit dan mereka berdua pun bersalin rupa (atau justru Semarlah sang satria piningit itu?) menjadi ksatria untuk menjalankan tugas di suatu negeri yang sedang carut-marut.

Singkat cerita, Semar dan patih yang sudah salin rupa pun pergi mengemban tugas. Rupanya Cepot, putra Semar, kehilangan ayahnya. Ia mencari-cari sang ayah ke mana-mana. Tak jua ia temukan sang ayah. Cepot, yang seperti biasa sangat interaktif dengan penonton, bertanya pada penonton ke mana gerangan ayahnya pergi. Penonton tak ada yang memberi tahu. Alih-alih, Cepot justru melihat kehadiran sang Gubernur. Ia pun akhirnya berdialog dengan sang Gubernur.

Lalu apa yang istimewa dari kisah di atas? Yang akan disoroti di sini bukanlah lakon yang dibawakan pada pagelaran tersebut, bukan pula mengenai kesenian wayang yang sudah sangat langka. Yang akan menjadi fokus kali ini justru adalah sang pengatur lakon, sang dalang.

Beberapa pengertian mengenai "dalang" bisa dilihat di catatan Buku Muka (Facebook) dalang Asep Sunandar Sunarya sediri di tautan berikut: http://www.facebook.com/notes/asep-sunandar-sunarya-grh-3/dalang/113133478720799. Ada sembilan definisi "dalang" dalam tulisan tersebut. Apapun definisi yang diambil, yang terpenting adalah memahami peran dalang dalam sebuah pertunjukkan.

Dalang adalah seorang serbabisa yang berlaku sebagai aktor, sutradara, penyusun naskah, sekaligus pendongeng dalam sebuah pagelaran wayang terutama wayang golek dan wayang kulit. Oleh karena perannya yang sangat beragam tersebut, maka seorang dalang haruslah seseorang yang memiliki kecerdasan dan kepekaan tinggi. Ia harus memiliki imajinasi, kreativitas dan pengetahuan yang luas. 

Bisa dilihat dalam adegan Cepot berdialog dengan Bapak Gubernur, bagaimana sang dalang harus memiliki pengetahuan politik dan sosial yang aktual. Ia harus bisa menyesuaikan lakon-lakon klasik dengan situasi saat ini, meskipun menggunakan tokoh-tokoh wayang klasik seperti Pandawa dan Kurawa. Bisa dibayangkan jika seorang dalang tidak inovatif, maka orang akan sudah bosan dengan cerita yang itu-itu saja dan bisa dipastikan saat ini seni pagelaran wayang sudah tidak ada lagi peminatnya. Namun hal itu tidak terjadi, karena sang dalang mampu beradaptasi dengan kondisi sosial budaya aktual sehingga unsur penghiburan dan pendidikan dari suatu pertunjukkan wayang tetap mampu membuat para penggemarnya bertahan.

Dalang harus mampu merangkai cerita sebagai penulis naskah, ia harus mampu membawakan cerita bak seorang pendongeng, ia harus mampu memainkan cerita tersebut melalui berbagai karakter wayang sebagai multi-aktor, ia harus mampu menyampaikan pesan-pesan moral pada masyarakat lewat ceritanya seperti seorang guru, ia harus mampu menghibur penontonnya lewat selingan candaan seperti pelawak, ia harus berwawasan luas dan terbuka. Sepertinya itulah esensi seorang dalang. Dalang adalah sutradara, penulis naskah, pendongeng, aktor, guru, pelawak/penghibur, pembelajar sejati. Sungguh luar biasa kemampuan seorang dalang.

Dalam dunia pewayangan, ternyata unsur utamanya adalah dalang. Tanpa kehadiran dalang yang mumpuni, akan punah pula tradisi pendidikan luar biasa ini. Wayang sejak dulu telah digunakan sebagai media pendidikan, selain penghiburan, seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mendakwahkan Islam. Perlu pula kiranya saat ini peran seorang dalang untuk memintarkan masyarakat, terutama masyarakat yang jauh dari akses pendidikan tinggi berkualitas. Seorang dalang dan wayangnya sebetulnya dibutuhkan untuk memberikan informasi mengenai aktualitas dan mendidik masyarakat terkait aktualitas tersebut. 

Akankah pemerintah yang berkepentingan melihat dalang dan wayang seperti itu? Sebagai salah satu medium pencerdasan masyarakat? Akankah ada kepedulian lebih banyak pada kesenian wayang dan para pelakunya untuk kepentingan bangsa yang lebih luas? Semoga seni adiluhung ini tidak berhenti di tingkat dokumentasi dan pencatatan wayang (kulit) sebagai Oral World Intangible Heritage-nya UNESCO. Semoga di masa mendatang segera lahir Asep-Asep Sunandar Sunarya yang lain. 

 

Jumat, 12 Oktober 2012

Braga Project Poster

Exhibition starting today until 14 of October at Rutgers Chaps University, New Jersey, USA.

Braga Project, usulan untuk perbaikan kawasan Braga berdasarkan kondisi aktual.


Posternya sudah sampai ke Amerika, semoga orangnya segera menyusul :)
Wish I were there :(